Kamis, 29 Mei 2014

( Tugas Minggu ke-12 ) Perlindungan Konsumen

Nama          : Herdyana Eka Yustanti
Kelas          : 2EB23
Npm           :23212421

Makalah Perlindungan Konsumen
BAB I
PENDAHULUAN


    Latar Belakang

Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Saat ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.     


     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud konsumen ?
2.      Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
3.      Apa Azas dan Tujuan Prlindungan Konsumen ?
4.      Apa sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
5.      Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
6.      Apa sajakah Gerakan Konsumen ?

     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.
2.      Mengetahui aplikasi hukum perlindungan konsumen.
3.      Mengetahui karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
4.      Mengetahui perbuatan yang dilarang pada produsen.
5.      Mengetahui Prinsip Konsumsi dalam Islam.
6.      Mengetahuin maksud pada Gerakan Konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN


 Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam bukunya principles of marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi. [1][1]
Konsumen itu sendiri dibedakan menjadi dua :
a.       Konsumen Akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.
         Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”.
         Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia): “Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.
         Menurut KUH Perdata Baru Belanda : “orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan”.
b.      Konsumen Antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya. Contoh: distributor, agen dan pengecer. [2][2]
Ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni :
         Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
         Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK. [3][3]

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi, seperti baan hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya batasan-batasan yang samar. Jika sekiranya badan usaha yang memperdagangkan sebuah produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian konsumen rasanya kurang tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah ‘konsumen antara’ yang menjembatani antara produsen dengan masyarakat selaku konsumen akhir. Justru karena itu agar badan usaha tidak terjebak dari perilaku produsen yang melawan hokum, seyogianyadimasukkan pula ke dalam lingkup pengertian konsumen, sehingga mereka juga patut mendapat perlindungan hukum. 
Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan khusus, produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apabila ia berasal dari pedagang, pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah secara kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara definitive, siapakah sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun secara ketat dengan sederatan larangan (yakni: makan daging babi, minum minuman keras, mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah rumusan pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang Konsumen Muslim. Oleh karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud Konsumen menurut penulis adalah “setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.” Bagi Konsumen Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang halal, baik, dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku. 
2.      Hak dan Kewajiban Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu yang mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban yang harus dilakukan.
a.      Hak Konsumen (Pasal 4)
         Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang, atau jasa
         Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang dijanjikan
         Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa
         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara patut
         Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen
         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b.      Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
         Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan
         Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa
         Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati
         Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen.
Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang di ajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan orang lain.
3.      Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha.
a.      Azas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen : “Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Azas Perlindungan Konsumen:
         Asas Manfaat
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
         Asas Keadilan
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
         Asas Keseimbangan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
         Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
         Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
b.      Tujuan Perlindungan Konsumen
Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
         meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
         mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
         meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
         menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
         menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
         meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. [4][5]
4.      Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
a.       Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
  Tidak sesuai dengan :
         standar yang dipersyaratkan;
         peraturan yang berlaku;
          ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
  Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang  dan/atau jasa yang menyangkut :
         berat bersih;
         isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
         kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
         mutu, tingkatan, komposisi;
         proses pengolahan;
         gaya, mode atau penggunaan tertentu;
         janji yang diberikan;
  Tidak mencantumkan :
         tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
         informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
  Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan   dalam label.
  Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
         Nama barang;
         Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
         Tanggal pembuatan;
         Aturan pakai;
         Akibat sampingan;
         Nama dan alamat pelaku usaha;
         Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
  Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
b.      Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
  Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
         Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
         Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
  Secara tidak benar dan selah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
         Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
         Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
         Telah tersedia bagi konsumen.
  Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
  Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
  Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan.
  Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
  Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
c.       Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan  atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
         Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
         Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
         Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
d.      Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
         Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
         Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
         Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
e.       Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
f.       Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
         Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
         Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
         Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
         Menaikkan harga sebelum melakukan obral. [5][6]
Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan menaikkannya (mark up) dari harga normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah harga yang sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan bagian dari permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang harga barang yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum telah melarang mempermainkan harga:
“Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk menikkan harga tersebut, maka sudah menjai hak Allah untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) ”.
Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat, diantaranya:
a.       permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al ikhtikar),
b.      penyalahgunaan kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal¸karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c.       karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fikih Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubn al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar al-mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-najasy. Larangan jual beli talaqi rukban dan jual beli al-hadhir li bad.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.
1.      Sanksi Administratif (pasal 60)
1)      Badan Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
2)      Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3)      Tata cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.      Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal 18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3)      Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikut pasal 63, dikatakan : 
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a.       Perampasan barang tertentu
b.      Pengumuman keputusan hakim
c.       Pembayaran ganti rugi
d.      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e.       Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f.       Pencabutan izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen.  Perlakuan perlindungan terhadap konsumen tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan poko adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi masyarakat dalam kehidupan.




BAB III
PENUTUP

  Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.







DAFTAR PUSTAKA


Djakfar, Muhammad. (2009). Hukum Bisnis, Malang: UIN-Malang Press.
Nasution, A.Z, Konsumen dan Hukum, cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Kotler, Philip. (2000). Principles Of Marketing. Jakarta: Erlangga.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar