Nama : Herdyana Eka Yustanti
Kelas : 2EB23
Npm :23212421
Makalah
Perlindungan Konsumen
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh
para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau
pelaku usaha. Saat ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan
dan keselamatan konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan
namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri
belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang
tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan
dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap
membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud konsumen ?
2. Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
3. Apa Azas dan Tujuan Prlindungan Konsumen ?
4. Apa sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
5. Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
6. Apa sajakah Gerakan Konsumen ?
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.
2. Mengetahui aplikasi hukum perlindungan konsumen.
3. Mengetahui karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
4.
Mengetahui perbuatan yang
dilarang pada produsen.
5.
Mengetahui Prinsip Konsumsi
dalam Islam.
6.
Mengetahuin maksud pada
Gerakan Konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Konsumen
Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam bukunya principles
of marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau
memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi. [1][1]
Konsumen itu
sendiri dibedakan menjadi dua :
a. Konsumen Akhir adalah Konsumen yang
mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.
Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :“Pemakai akhir dari barang,
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak
diperjualbelikan”.
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia): “Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali”.
Menurut KUH Perdata Baru Belanda : “orang alamiah yang mengadakan
perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau
perusahaan”.
b. Konsumen Antara adalah konsumen yang
memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya. Contoh: distributor, agen
dan pengecer. [2][2]
Ada dua cara
untuk memperoleh barang, yakni :
Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu
ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen
memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang
kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan
pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu
perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk
peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK. [3][3]
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai
barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal
yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi,
seperti baan hukum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat
dan adanya batasan-batasan yang samar. Jika sekiranya badan usaha yang
memperdagangkan sebuah produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian konsumen
rasanya kurang tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah ‘konsumen antara’
yang menjembatani antara produsen dengan masyarakat selaku konsumen akhir.
Justru karena itu agar badan usaha tidak terjebak dari perilaku produsen yang
melawan hokum, seyogianyadimasukkan pula ke dalam lingkup pengertian konsumen,
sehingga mereka juga patut mendapat perlindungan hukum.
Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap individu atau
kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan khusus, produk,
atau pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apabila ia berasal dari
pedagang, pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri
ataukah secara kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara definitive, siapakah sebenarnya
konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit menyinggung bahwa
konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun secara ketat dengan
sederatan larangan (yakni: makan daging babi, minum minuman keras, mengenakan
pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah rumusan
pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya menggambarkan secara
sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang Konsumen Muslim.
Oleh karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud Konsumen menurut penulis
adalah “setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa
dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.” Bagi Konsumen
Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus yang halal, baik,
dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan
konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama yang mereka
anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku.
2.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak
kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin penting. Untuk
pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu yang mengatur
hak-hak konsumen, disamping kewajiban yang harus dilakukan.
a.
Hak Konsumen (Pasal 4)
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang,
atau jasa
Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang dijanjikan
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina
barang atau jasa
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang atau jasa yang digunakan
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara patut
Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila
barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b.
Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau
pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa
Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati
Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen.
Dengan
terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis
untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar
memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan
agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing.
Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa
yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah
keseimbangan (tawazun) sebagaimana
yang di ajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan akan
menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak hanya
mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan orang
lain.
3.
Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh
para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau
pelaku usaha.
a.
Azas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :
“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan
dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Azas Perlindungan Konsumen:
Asas Manfaat
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan,
Asas Keadilan
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil,
Asas Keseimbangan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah
dalam arti materiil ataupun spiritual,
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan,
Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
negara menjamin kepastian hukum.
b.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sedangkan
Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. [4][5]
4. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
a. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Tidak sesuai dengan :
standar yang dipersyaratkan;
peraturan yang berlaku;
ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain
mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
berat bersih;
isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
mutu, tingkatan, komposisi;
proses pengolahan;
gaya, mode atau penggunaan tertentu;
janji yang diberikan;
Tidak mencantumkan :
tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa
indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label.
Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
Nama barang;
Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
Tanggal pembuatan;
Aturan pakai;
Akibat sampingan;
Nama dan alamat pelaku usaha;
Keterangan penggunaan lain yang menurut
ketentuan harus dipasang atau dibuat
Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan),
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
b. Dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan
harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat,
berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
Secara tidak benar dan selah-olah
barang dan/atau jasa tersebut :
Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris
tertentu.
Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi.
Telah tersedia bagi konsumen.
Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud
tidak dilaksanakan.
Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau
memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
c. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan
atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah
menarik yang ditawarkan.
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi
atas barang dan/atau jasa.
Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau
jasa.
d. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang :
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas
waktu dijanjikan.
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau
menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang
dijanjikan.
e. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun
psikis.
f. Dalam hal
penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan :
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak
mengandung cacat tersembunyi.
Tidak berniat menjual barang yang
ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam
jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan
menaikkannya (mark up) dari harga
normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah harga yang
sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan bagian dari
permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang harga barang
yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum
telah melarang mempermainkan harga:
“Barang
siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum
Muslimin dengan tujuan untuk menikkan harga tersebut, maka sudah menjai hak
Allah untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) ”.
Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat,
diantaranya:
a. permainan
harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al ikhtikar),
b. penyalahgunaan
kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal¸karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang
sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c. karena
penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fikih
Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan
tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubn al-fahisy (perbedaan
nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar
al-mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas kepercayaan
pada pedagang), larangan jual beli an-najasy.
Larangan jual beli talaqi rukban dan
jual beli al-hadhir li bad.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku
usaha secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.
1. Sanksi Administratif (pasal 60)
1) Badan
Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26;
2) Sanksi
administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah);
3) Tata cara
penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2. Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana
menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas
apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1) Pelaku usaha
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, hruf c, huruf
e, ayat (2), Pasal 18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2) Pelaku usaha
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3) Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikut pasal 63, dikatakan :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa :
a. Perampasan
barang tertentu
b. Pengumuman
keputusan hakim
c. Pembayaran
ganti rugi
d. Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban
penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan
izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hokum syariah
maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya sama-sama
berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen. Perlakuan perlindungan terhadap konsumen
tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan poko
adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip
saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin
mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya.
Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi
masyarakat dalam kehidupan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka kami
menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang
harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan
pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran
yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah
tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap
dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum
akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek
samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Djakfar,
Muhammad. (2009). Hukum Bisnis, Malang:
UIN-Malang Press.
Nasution, A.Z, Konsumen dan Hukum,
cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Kotler,
Philip. (2000). Principles Of Marketing. Jakarta:
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar